Cari Blog Ini

Jumat, 25 Maret 2011

Perjanjian Perkawinan

Banyaknya kasus perceraian ataupun kasus-kasus lain yang berhubungan dengan hukum keluarga muslim di Indonesia cukup membuat sibuk aparat hukum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menjalankan fungsi Peradilan, sehingga kadang-kadang jumlah perkara yang masuk di Peradilan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang menangani perkara itu guna memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para pihak pencari keadilan. Selain itu jenis perkara yang banyak dan diajukan oleh para pihak pencari keadilan didominasi oleh kaum perempuan yang seharusnya merasa terlindungi dengan adanya perjanjian yang berupa ta’lik talak yang diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan, namun kenyataannya justru pelanggaran ta’lik talak membawa kaum perempuan mengajukan tuntutan ke Pengadilan Agama di wilayah hukum masing-masing Pengadilan di Indonesia. Namun ada wilayah hukum tertentu yang jumlah perkaranya sedikit yang oleh karena mempunyai komunitas tertentu dengan hukum kebiasaan atau tradisi budayanya dibidang perkawinan yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan sebelum dilaksanakan akad nikah menurut hukum Islam ternyata dapat mempertahankan perkawinan mereka hingga salah satu dari pasangannya meninggal dunia. Masyarakat hukum itu dinamakan masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh Nusantara dengan agama, bahasa dan adat istiadat yang beraneka ragam sehingga ada beberapa asas yang membedakan corak / warna budaya Indonesia terakumulasi dalam hukum Adat secara material, yaitu :Mempunyai sifat kebersamaan / komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan itu mencakup lapangan hukum adat, Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia, Sistem hukumnya diliputi oleh pikiran yang serba kongkrit, artinya memperhatikan banyaknya peristiwa / kejadian dan berulang-ulangnya perhubungan antara manusia, Hukum adat bersifat visioner, artinya perhubungan-perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan adanya suatu ikatan yang dapat dilihat. Dengan demikian apabila boleh berasumsi bahwa perkawinan yang dilaksanakan dengan suatu perjanjian perkawinan yang bukan merupakan perjanjian ta’lik talak seperti yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam ternyata lebih dapat menekan lajunya angka perceraian di suatu wilayah hukum Peradilan, karena perjanjian perkawinan yang dilaksanakan cenderung memakai asas / hukum Perdata Barat. Tentang perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII KUH Perdata (BW) pasal 139 s/d 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan. Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain : Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga, Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri, Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan, Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister. Sedangkan hukum Islam seperti yang tercantum pada Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya terdiri atas satu pasal saja tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 29 menyatakan : “Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar